Posted by: TandaMata BDG | 22 May, 2012

Selintas tentang KOMUNIKASI


Kalau menurut Anda bermanfaat share di media sosial Anda (KLIK icon di atas)

Welcome to Blogs Unpad | Mari Kita Menulis

 

Oleh: Teddy K Wirakusumah

Di  sebuah kamar belajar seorang anak muda tampak serius membaca buku. Pikirannya sibuk berusaha memecahkan persoalan yang kurang dipahaminya. Di ruangan lain seorang gadis cantik  asyik mendengarkan siaran radio swasta yang menyuguhkan acara “untuk remaja putri”. Sang ibu tidak ada di rumah. Ia belum pulang mengajar siswanya di sebuah sekolah menengah atas. Sedangkan sang bapak di beranda depan, bercakap-cakap dengan teman sejawat, sesama dosen pengajar. Sebagian dari percakapan pada sore itu menyangkut situasi kampanye para kontestan menjelang pemilu yang akan dilaksanakan.Ketika keduanya asyik bertukar pandangan, serombongan truk dan berbagai kendaraan terbuka berjajar panjang melintas lewat jalan di hadapan rumah. Masing-masing bermuatan sejumlah orang berseragam kaus berwarna  sama. Yel-yel berupa dukungan terhadap sebuah partai politik diteriakkan dan disambut riuh para simpatisan – pejalan kaki di trotoar. Mereka (arak-arakan itu) baru saja pulang mengikuti “rapat akbar” yang dipimpin langsung ketua partainya.

Tepat  di sebuah persimpangan – dimana setiap sudutnya dihiasi papan-papan reklame berbagai produk yang ditata aneka warna berusaha memikat peminat, calon konsumen – sebuah lampu pengatur  lalu-lintas menyala berwarna merah. Arak-arakan berhenti. Baru kemudian setelah lampu merah berganti nyala kuning lalu hijau, arak-arakan pun melanjutkan perjalanannya.

Belum sampai seluruh rombongan sempat menyebrang, dari arah persimpangan lain terdengar bunyi sirine meraung nyaring. Sebuah kereta jenazah tampak diiringi barisan para pelayat melaju cepat.  Sebagian arak-arakan  yang  tertinggal  tadi kembali berhenti, padahal lampu pengatur lalu-lintas masih menyala hijau. Yel-yel yang bergema pun sejenak senyap hingga barisan akhir  kendaraan  pengantar kereta jenazah melintas persimpangan jalan.

Kisah pendek ini memuat sejumlah contoh kegiatan manusia yang sering digeneralisasikan ke dalam konsep komunikasi. Wilbur Schramm dalam karyanya “How Communication Works” mengatakan:

Komunikasi  (communication berasal dari perkataan Latin “communis”, yang berarti  “sama” (common). Jika kita melakukan komunikasi, kita sedang berusaha mengadakan “kesamaan” (commoness)  dengan  orang lain. (Effendy 1981 a; 37)

Dua pihak, paling tidak, tampaknya harus terlibat dalam kegiatan yang berlangsung. Apa sebenarnya yang dilakukan dan dipersamakan oleh kedua belah pihak yang turut serta dalam proses komunikasi ?

Peserta yang satu harus mengutarakan gagasan dengan menggunakan salah satu media yang tersedia …Kemudian informasi yang telah diciptakan oleh peserta yang satu harus dimanfaatkan bersama dengan peserta yang lain … Proses saling ber-bagi atau menggunakan informasi secara bersama, dan pertalian antara para pe-serta dalam proses informasi, disebut komunikasi. (Kincaid dan Schramm 1984; 6)

Dalam kesemua contoh yang telah disebut terlihat kedua belah pihak yang turut mengambil bagian dalam proses komunikasi terlibat dalam suatu tindakan “menciptakan” dan “memanfaatkan” informasi;  antara penulis  dan  pembaca, pembaca dengan dirinya sendiri, penyiar dengan pendengar, guru dengan sekelompok siswa, sang bapak dengan kawannya, pelaku kampanye dengan masyarakat sepanjang  jalan,  pemimpin partai dengan massa pendukung, pengatur lalu-lintas dengan pemakai jasa jalan raya, sopir mobil jenazah dengan para pelintas. Kedua tindakan yang dilakukan oleh masing-masing pihak, kalau disederhanakan biasa disebut dengan istilah “memberi” dan “menerima”.

Selanjutnya Schramm menjelaskan :

… komunikasi pada hakekatnya adalah membuat si  penerima dan  pemberi sama-sama “setala” (tuned) untuk suatu pesan.               (Effendy 1981 a; 37)

Lalu apa yang terjadi ketika pemberi/sumber pesan berusaha membentuk kesamaan dengan penerima?

Pertama-tama  sumber “meng-encode” pesannya, yaitu ia mengambil informasi yang akan ia berikan, lalu ia tuangkan dalam bentuk yang dapat dikirimkan. “Gambaran dalam otak kita” (pictures in our  heads) tak mungkin dapat dioperkan atau disiarkan, kecuali kalau sudah “di-code”. (Effendy 1981 a; 38)

Tanpa “peng-code-an”, informasi dalam pikiran sumber tak mungkin dapat dikirimkan. “Code” bukanlah sesuatu yang penuh rahasia. “Code” atau sandi:

cuma merupakan jenis pola khusus yang mendapat bentuk umum. Membuat bentuk umum ini dilakukan dengan memakai serangkaian ketentuan sistematis yang dapat dipelajari oleh lebih dari satu orang. (Kincaid dan Schramm 1984; 99)

“Menyusun Code” pesan – dengan mengambil informasi dari pikiran dan dituangkan dalam bentuk yang dapat dikirimkan – dalam bentuk fisiknya diwujudkan dalam bentuk lambang-lambang.

Komunikasi adalah proses penyampaian lambang-lambang yang berarti oleh seseorang kepada orang lain baik dengan maksud agar mengerti maupun berubah tingkah laku. (Effendy 1981 b; 28)

Sehingga,  setelah sumber “meng-encode” pesannya dengan menggunakan lambang-lambang yang dapat dikirimkan maka giliran penerima dapat mengamati dan menafsirkan code yang berbentuk lambang tersebut  ke dalam konteks pengertiannya; komunikan “men-decode” pesan yang diterimanya. Raymond S. Ross dalam bukunya “Persuasion: Communication and Interpersonal Relations” menyimpulkan, komunikasi adalah :

proses  transaksional  yang meliputi pemisahan dan pemilihan lambang secara kognitif, begitu rupa sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan arti atau respon yang sama dengan yang  dimaksud  oleh sumber.

Lambang dapat berupa bahasa, gerak, bunyi, cahaya, gambar, warna, dan lain-lain. Masing masing lambang dipilih tergantung dari jenis media komunikasi yang dipergunakan.

Lambang adalah benda atau obyek material yang nilai atau arti yang ada padanya ditetapkan oleh yang menggunakan obyek itu sebagai lambang. (Harsoyo 1977; 14)

Leslie A. White di dalam bukunya “The Symbol, The Origin, And Basis Of Human Behaviour”, menjelaskan :

Nilai atau arti pada lambang itu sama sekali tidak terikat secara intrinsik kepada benda sendiri. (Harsoyo 1977; 114)

Warna  baju  sebagai lambang untuk mengkomunikasikan pesan “berduka cita”, misalnya, tidaklah harus berwarna hitam. Dapat saja warna yang dipergunakan putih, abu-abu, biru, atau  ungu.  Demikian  juga sebaliknya, warna hitam baju yang dikenakan oleh seseorang tidak selalu melambangkan pesan duka cita. Warna hitam pada hakekatnya tidak berarti apa-apa bagi seseorang jika tidak dilekatkan pada situa­si tertentu. Oranglah yang memberikannya arti.

Kemampuan  untuk memberikan arti secara aktif pada suatu obyek material adalah kemampuan berlambang yang hanya ada pada manusia, sedang hewan hanya menggunakan tanda saja. Atau dengan  perkataan  lain bagi hewan untuk satu sti-mulus indrani hanya ada satu macam respon saja. Manusia dapat menetapkan res-pon yang tidak terbatas jumlahnya untuk satu stimulus indrani. (Harsoyo 1977; 115)

Bunyi sirine dari mobil jenazah seperti pernah dicontohkan, sebagai lambang, mungkin hanya bermaksud memberi pesan: “Kami iring-iringan pengantar jenazah dalam rombongan yang panjang. Beri kami  jalan sejenak untuk leluasa lewat, agar jalan yang kita gunakan bersama tidak menjadi macet karenanya.”

Respon  bagi penerima stimuli “bunyi sirine” dapat bermacam-macam. Seseorang di dalam gang mungkin menafsirkan “ada kejar-kejaran antara polisi dengan pelanggar hukum”, ia lalu berlari  menuju  jalan. Atau,  “ada kebakaran” ia pun mendongkak ke atas langit, kalau-kalau ada kepulan asap membumbung tinggi. Mungkin pula seseorang menafsirkan “waktu dimulainya kerja bakti”, ia lalu  bergegas  mengambil sapulidi.  Sedangkan  bagi  rombongan pelaku kampanye yang teringgal di persimpangan – seperti telah dicontohkan – mungkin diartikan : “Bunyi sirine dari kereta jenazah  rupanya.  Rombongan  pengantar begitu panjang. Almarhum tentu orang yang dihormati. Kami pun ingin menghormatinya”, maka arak-arakan bukan saja berhenti ketika lampu pengatur lalu lintas masih menyala hijau, tetapi  teriakan-teria­kan pun senyap sejenak.

Dari  uraian  tersebut ditunjukkan bahwa lambang hanya bertindak selaku perangsang (stimuli) untuk membangkitkan balasan dari pihak penerima pesan. Suatu stimuli – dalam hal ini bunyi sirine  –  dapat melahirkan penafsiran yang beraneka ragam. Walaupun peristiwanya sama dapat saja orang memaknainya berbeda-beda. Para psikolog Gestalt mengatakan:

Manusia tidak memberikan respons pada stimuli secara otomatis. Manusia adalah organisme yang aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkungan … Ma-nusialah yang menentukan makna stimuli  itu, bukan stimuli itu sendiri. (Rakhmat 1985; 33)

Jadi dapatlah kiranya dikatakan bahwa suatu pesan yang dinyatakan dengan lambang-lambang sebenarnya tidak bermakna, karena hanya merupakan bentuk-bentuk perubahan wujud yang berguna untuk membantu berlangsungnya komunikasi. Penjelasan berikut memperjelas kesimpulan ini :

Pesan-pesan dalam komunikasi merupakan hal yang lahiriah yang terlepas dan sama sekali tidak bermakna sampai ada yang menafsirkan makna ke dalamnya … Makna baru timbul jika seseorang mengamati pesan itu dan kemudian menafsirkannya dengan jalan menerapkan konsep-konsep yang dimiliki terhadapnya (Kincaid dan Schramm 1984; 99)

Makna baru timbul pada diri si penerima adalah balasan terhadap pesan yang disampaikan oleh sumber. Antara pesan yang disampaikan dengan cara orang menafsirkan tidak terdapat hubungan yang tunggal. Balasan bisa bermacam-macam. Kenyataan ini sangat membatasi tingkat keberhasilan yang hendak dicapai dalam proses komunikasi, yaitu terbentuknya “kesamaan” anatara kedua belah pihak  yang  terlibat. Untuk meningkatkan keberhasilan suatu akhir dari proses komunikasi Wilbur Schramm dalam karyanya “Communication Research in The United States” mengemukakan :

… komunikasi akan berhasil, apabila pesan yang disampaikan komunikator (sum-ber) cocok dengan frame of reference – yakni dengan pengalaman dan pengertian (collection  of experiences and meanings)  –  yang diperoleh komunikan (penerima). (Effendy 1981 b; 32)

Selanjutnya Schramm mengatakan pula :

Bidang  pengalaman (field of experience) merupakan faktor yang penting dalam komunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung  dengan lancar. Sebaliknya bila pengalaman komunikan berlainan akan terdapat kesukaran untuk mengerti satu sama lain. (Effendy 1981 b; 33)

Namun, agaknya dapat disepakati, mustahil terdapat dua orang yang memiliki bidang pengalaman yang persis sama. Oleh karena itu konsep-konsep yang dimiliki untuk menafsirkan suatu pesan pun tidak  akan pernah  “persis sama”. Istilah “mirip” atau “serupa” mungkin lebih tepat. Sehingga dapat dikatakan – sekalipun telah disebutkan sebelumnya bahwa komunikasi bertujuan untuk membentuk kesamaan  –  makna yang timbul pada diri si penerima hasil menafsirkan pesan dari sumber hanyalah dapat saling menghampiri atau saling menyerupai saja.

Agar dapat memperoleh makna yang “serupa”, masing-masing pihak dapat berkomunikasi berkali-kali, sampai kedua belah pihak dapat memahami maksud pihak lainnya. Jadi pesan digunakan pihak-pihak  peserta sampai mereka memusat kepada makna masing-masing mengenai informasi yang dikandung dalam lambang-lambang yang mereka gunakan bersama.

Memusat,  artinya  bergerak saling mendekati, atau menuju suatu titik bersama. Jika diterapkan pada proses komunikasi, maka “memusat” berarti bergerak menuju pertambahan  pengertian  bersama  mengenai maksud atau pokok pandangan pihak masing-masing. (Kincaid dan Schramm 1984; 100)

Sampai  di  sini dapat disimpulkan bahwa hasil akhir dari proses saling berbagi informasi dengan menggunakan lambang-lambang dipilih sedemikian rupa oleh para peserta komunikasi adalah guna memusat, menuju saling pengertian yang lebih besar atau serupa tentang makna masing-masing pihak.

« Newer Posts - Older Posts »

Categories